Jakarta | Pemerintah Kabupaten Aceh Timur kehilangan dana sebesar Rp 101 miliar dari pemerintah pusat karena efisiensi anggaran. Dampaknya, pembangunan infrastruktur yang berkurang drastis.
Hal itu diungkapkan Bupati Aceh Timur, Iskandar Usman Al-Farlaky, dalam forum pertemuan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, pada Senin (5/5/2025).
“Di tengah efisiensi, pemerintah daerah diwajibkan untuk mengalokasikan 10 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) untuk Dana Desa, sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 212 Tahun 2022. Saya pikir, regulasi ini perlu ditinjau ulang,” ujar Al-Farlaky.
Aturan itu, jelas Al-Farlaky, sangat membebani keuangan daerah, terutama di tengah kondisi yang sedang dilakukan efisiensi oleh pemerintah pusat.
“Kami diwajibkan melakukan sharing 10 persen ke Dana Desa, sementara kami sendiri sedang melaksanakan efisiensi,” terang orang nomor satu di Aceh Timur tersebut.
Pihaknya meminta KPK bisa memberikan masukan kepada pemerintah pusat agar mekanisme sharing tersebut dapat dikaji kembali dan diambil dari sektor lain. Sehingga menurutnya, tidak mengganggu pembiayaan sektor strategis seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan umum.
Disisi lain, Al-Farlaky menyoroti penyaluran dana Corporate Social Responsibility (CSR) dan Participating Interest (PI) dari perusahaan migas PT Medco E&P Malaka yang beroperasi di Kecamatan Indra Makmur, Kabupaten Aceh Timur.
PI merupakan keterlibatan pemerintah daerah memiliki saham di perusahaan minyak dan gas yang beroperasi di daerah tersebut.
Al-Farlaky mengakui pihaknya telah menjalin komunikasi dan pertemuan dengan perusahaan tersebut untuk membahas pengelolaan dana PI dan CSR, namun hingga kini belum ada tindak lanjut yang jelas.
“Dana CSR idealnya dapat dikelola langsung oleh pemerintah daerah karena lebih memahami kebutuhan masyarakat di tingkat desa dan kecamatan,” imbuh Al-Farlaky.
Begitu pula dengan dana PI, jika dapat diturunkan dalam angka 10 persen, maka akan sangat membantu pembangunan dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Aceh Timur.
Dalam kesempatan itu, Al-Farlaky juga mempertanyakan transparansi hasil lifting migas dari perusahaan eksploitasi migas yang beroperasi di wilayah Aceh Timur.
Ia mengaku bahwa hingga kini belum ada data real yang diterima Pemkab terkait jumlah produksi migas, sementara alokasi dana dari pusat dan provinsi untuk Aceh Timur relatif rendah dibandingkan daerah penghasil migas lainnya di Indonesia.
“Kami mohon dorongan dan dukungan KPK agar hal ini bisa menjadi perhatian. Kami ingin perencanaan pembangunan Aceh Timur lima tahun ke depan berjalan maksimal dan berpihak pada kepentingan masyarakat,” pungkas Al-Farlaky.