Banda Aceh, BisaApa.co.id | Pj Gubernur Aceh, Safrizal ZA, didesak untuk segera membatalkan rencana pengadaan 166 Smart Board atau papan tulis digital interaktif dalam APBA Perubahan 2024 yang dialokasikan untuk Dinas Pendidikan Aceh dan diperuntukkan bagi sejumlah sekolah di Aceh.
Hal ini disebabkan oleh proses penganggaran yang tidak biasa dan cenderung terburu-buru dalam pengadaan Smart Board tersebut.
Awalnya, anggaran sebesar sekitar Rp 40 miliar tersebut diambil dari Badan Reintegrasi Aceh (BRA), yang sebelumnya telah dianggarkan untuk pengadaan ikan kakap dan pakan runcah bagi 21 kelompok masyarakat yang menjadi korban konflik.
“Wajib ditolak pengadaan tersebut. Proses penganggaran Smart Board yang muncul tiba-tiba ini sangat mencurigakan,” ujar Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian, dalam keterangannya, Ahad (6/10/2024).
Menurutnya, Pj Gubernur Aceh Safrizal ZA perlu memastikan pembatalan paket tersebut sebelum muncul masalah yang lebih besar di kemudian hari.
Sementara itu, Koordinator Transparansi Tender Indonesia (TTI) Nasruddin Bahar dalam keterangannya menyatakan bahwa, idealnya, pemindahan anggaran dan kegiatan tersebut harus disesuaikan dengan Dinas Teknis, yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh.
“Entah apa penyebabnya ujuk-ujuk kegiatan di BRA dipindahkan ke Dinas Pendidikan Aceh. Dari informasi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh tidak terdapat dalam DIPA Dinas Kelautan dan Perikanan, hal tersebut terkonfirmasi langsung dengan Kepala DKP,” terangnya.
Menjadi pertanyaan publik hari ini kenapa pengadaan Bibit Ikan Kakap dan Pakan Runcah dibatalkan, bukankah masyarakat sangat dirugikan karena anggaran puluhan miliar untuk mereka tidak tersalurkan.
“Berat dugaan kelompok masyarakat yang akan dibantu juga bermasalah seperti pengadaan fiktif tahun 2023 senilai Rp 15 miliar lebih menjadi temuan total lost dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh,” tutur Nasruddin Bahar.
Ia menambahkan, agar tidak muncul temuan baru seperti kasus wastafel jilid II di Dinas Pendidikan Aceh, Pj Gubernur Aceh diminta untuk melakukan supervisi dan peninjauan kembali dengan cara membatalkan paket pengadaan Smart Board yang dinilai belum mendesak.
“Anggaran Rp 40 miliar itu sebaiknya menjadi SILPA 2024 dan dilanjutan pada pembahasan APBA-P tahun 2025. Anggaran untuk masyarakat korban konflik sebaiknya dianggarkan sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat sehingga mendongkrak tinggkat pendapatannya,” sebutnya.
Jika Dinas Pendidikan Aceh tetap melanjutkan pengadaan Smart Board tersebut, dikhawatirkan akan terjadi mark-up atau penggelembungan harga.
“Kejadian tersebut dapat saja terjadi mengingat pengadaan dilakukan melalui E-Katalog tanpa proses tender. Hasil penelusuran Tim TTI di marketplace menunjukkan perbedaan harga yang sangat mencolok, yaitu harga per unit berkisar antara Rp 50 juta hingga Rp 95 juta. Angka tersebut sangat fantastis dan diduga bisa mengalami mark-up hingga 100%,” tegas Nasruddin.