Banda Aceh, BisaApa.co.id | Seseorang yang terlihat tiba-tibak aya sering kali dikaitkan dengan hal-hal berbau mistis, seperti makhluk halus tuyul dan babi ngepet.
Sudah sejak lama kedua makhluk itu dipercaya dapat mendatangkan kekayaan kepada seseorang dengan cara mencuri uang.
Budayawan Suwardi Endraswara dalam Dunia Hantu Orang Jawa (2004) menjelaskan, narasi tersebut sudah berlangsung sejak lama dalam alam pikir orang Jawa.
Namun, pernahkah kita berpikir kenapa tuyul hanya mencuri dari rumah ke rumah? Apakah bisa tuyul melakukan pencurian ke bank yang menyimpan banyak sekali uang? Atau minimal melakukan pencurian atas saldo e-money?
Jawaban atas pertanyaan tersebut tentu beragam. Dan biasanya kembali lagi pada jawaban mistis. Hal ini memang asyik sebagai cerita, tapi getir sebagai fakta. Kemudian, bagaimana penjelasan logis di balik fenomena itu?
Sebenarnya, tuyul dan babi ngepet tercipta dari kecemburuan sosial pada masyarakat zaman dahulu, khususnya di kalangan petani. Awalnya para petani hidup dalam kondisi biasa-biasa saja. Namun, liberalisasi ekonomi tahun 1870 mengubah kondisi itu.
Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam Ekonomi Indonesia 1800-2010 (2012) mengatakan, liberalisasi ekonomi dinilai melahirkan rezim kolonial baru yang di dalamnya terjadi pengambilalihan perkebunan rakyat untuk diubah menjadi perkebunan besar dan pabrik gula.
Situasi ini kemudian membuat kehidupan masyarakat terpuruk, khususnya para petani kecil di Jawa yang semakin terperosok pada kemiskinan. Sebab, mereka tidak lagi memiliki kuasa atas lahan perkebunannya.
Di sisi lain, ada juga masyarakat yang sejahtera dari sistem ini. Mereka adalah pedagang, baik dari kalangan pribumi atau Tionghoa, yang dalam sekejap menjadi orang kaya baru. Kenaikan kekayaan mereka lantas menimbulkan keheranan bagi para petani yang kian melarat itu.
Para petani heran dari mana asal-usul kekayaan mereka. Bagi petani, proses pemupukan kekayaan harus dibuktikan dan terlihat, seperti misalkan melihat kerja kerasnya atau proses saat bertani.
Sayangnya, mereka tidak melihat itu pada orang kaya baru. Alhasil, timbul rasa cemburu dan iri oleh petani ke pedagang karena bisa mendapat harta sebanyak itu.
Masyarakat yang kental dengan pandangan mistik membuat para petani memandang pencurian adalah kerja sama antara orang kaya dan makhluk supranatural dan kasat mata, seperti babi ngepet dan tuyul.
Singkatnya, para petani yang iri dan cemburu selalu menuduh orang kaya baru menggunakan cara haram dalam memperoleh kekayaan.
Akibat tuduhan ini, Ong Hok Ham dalam Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong (2002) menjelaskan, para pedagang dan pengusaha sukses kehilangan status di masyarakat. Mereka dianggap “hina” karena memupuk kekayaan dari cara haram, yakni bersekutu dengan syetan.
Tuduhan yang tidak berdasar ini membuat popularitas tuyul dan babi ngepet sebagai subjek mistis terkait kekayaan semakin meningkat dan terus populer sampai saat ini di Indonesia.
Tarik Perhatian Peneliti Asing
Fenomena tuyul pernah juga menjadi sorotan Clifford Geertz, antropolog yang menggarap karya fenomenal The Religion of Java (1976). Dalam amatannya, menurut Geertz memang benar ada orang memelihara tuyul. Biasanya mereka melakukan perjanjian dengan roh di tempat-tempat keramat.
Biasanya orang pemelihara tuyul memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
– Kaya raya atau menjadi kaya secara mendadak
– Kikir
– Sering menggunakan pakaian bekas
– Sering mandi di sungai bersama para kuli miskin
– Selalu menyantap makanan orang miskin, seperti jagung dan singkong, ketimbang nasi.
Biasanya, pemelihara tuyul ini untuk mengelabui orang-orang supaya dianggap tidak punya uang, padahal di rumahnya selalu penuh dengan emas batangan dan hartai lainnya.
Namun, karena dua sosok ini hanya sebatas sebagai realitas kepercayaan di masyarakat, tentu sulit dikaitkan dengan fakta yang sebenarnya, apalagi bisa mencuri sesuatu di bank.