Oleh: Dio Fahmizan, Ketua Komunitas Pemerhati Alam Aceh Singkil.
Kabupaten Aceh Singkil memiliki potensi besar dalam pengelolaan sumber daya alam, antara lain seperti sektor perkebunan, pertanian, maupun konservasi lingkungan. Namun, potensi ini harus diarahkan dengan baik agar tidak menjadi ancaman bagi keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam konteks revisi Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), diperlukan pendekatan yang tidak hanya teknis, tetapi juga menyeluruh dari perspektif filosofis, sosiologis, dan yuridis. Hal ini penting untuk memastikan bahwa revisi RTRW mampu menjadi pijakan yang kokoh bagi pembangunan yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berpihak pada masyarakat.
Secara filosofis, tata ruang bukan sekadar pengaturan ruang fisik, tetapi juga representasi nilai-nilai keadilan, keberlanjutan, dan harmoni antara manusia dan alam. Prinsip keadilan sosial sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 harus menjadi landasan utama revisi RTRW Aceh Singkil.
Revisi RTRW harus menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana ruang di Aceh Singkil dapat dikelola untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat, terutama kelompok rentan seperti masyarakat adat, petani kecil, dan nelayan. Selain itu, revisi ini juga harus mempertimbangkan prinsip keselarasan dengan alam, seperti lahan konservasi, hutan gambut, dan ekosistem penting lainnya tidak boleh dikorbankan demi kepentingan ekonomi semata.
Filosofi ini menempatkan manusia sebagai bagian dari ekosistem, bukan penguasa yang dapat mengeksploitasi sumber daya tanpa batas. Dari perspektif sosiologis, RTRW tidak boleh menjadi dokumen yang hanya menguntungkan segelintir pihak, seperti korporasi besar, tanpa mempertimbangkan kebutuhan masyarakat lokal.
Aceh Singkil dikenal memiliki masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam untuk kehidupan sehari-hari. Misalnya, petani dan nelayan membutuhkan akses yang adil terhadap lahan dan perairan yang produktif, sementara masyarakat adat memiliki hak historis atas wilayah-wilayah tertentu.
Revisi RTRW harus mencerminkan aspirasi masyarakat dengan melibatkan mereka secara aktif dalam proses perencanaan. Partisipasi masyarakat lokal, termasuk perempuan dan kelompok marjinal. Sangat penting untuk memastikan bahwa tata ruang yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kepentingan bersama. Selain itu, konflik agraria yang sering muncul di wilayah ini, terutama terkait dengan ekspansi perkebunan yang merambah kawasan konservasi, harus diselesaikan melalui pendekatan tata ruang yang adil dan transparan.
Secara yuridis, revisi RTRW harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta PP No 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Kepatuhan terhadap regulasi ini menjadi dasar untuk memberikan kepastian hukum dalam pemanfaatan ruang. Namun, implementasi hukum sering kali menjadi tantangan di tingkat daerah.
Banyak kasus di mana lahan perkebunan besar melanggar zonasi konservasi dan gambut tanpa konsekuensi hukum yang tegas. Oleh karena itu, revisi RTRW harus dilengkapi dengan mekanisme penegakan hukum yang kuat dan transparan. Pemerintah daerah perlu berkomitmen untuk mencabut izin yang melanggar tata ruang dan melakukan audit terhadap izin-izin yang sudah diterbitkan.
Dalam hal ini kita juga menginginan harapan baru untuk Aceh Singkil kedepan dengan terivisinya RTRW ini dapat Melindungi lingkungan hidup, termasuk lahan gambut dan kawasan konservasi, demi keberlanjutan ekosistem.
Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal haruslah memastikan akses yang adil terhadap sumber daya dan ruang produktif, menarik investasi berkelanjutan, yang tidak hanya menguntungkan ekonomi tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan dan mendukung pembangunan sosial, mencegah konflik agraria melalui zonasi yang jelas dan implementasi hukum yang konsisten.
Serta pemerintah dan DPRK Aceh Singkil haruslah bertanggung jawab untuk memastikan bahwa revisi RTRW ini tidak hanya menjadi dokumen administratif, tetapi juga menjadi cetak biru pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Masyarakat Aceh Singkil harus menjadi subjek utama dari proses ini, bukan sekadar objek dari keputusan yang dibuat tanpa partisipasi Masyarakat. Revisi RTRW adalah kesempatan langka untuk memperbaiki tata kelola ruang di Aceh Singkil.
Dengan landasan filosofis yang kuat, pendekatan sosiologis yang inklusif, dan kepatuhan yuridis yang ketat, revisi ini dapat menjadi tonggak penting dalam menciptakan Aceh Singkil yang lebih adil, makmur, dan lestari.
Tulisan ini sepenuhnya milik dan tanggung jawab penulis.